Kamis, 15 Oktober 2009

Malaikat Pelindung

Suatu ketika ada seorang bayi yang siap untuk dilahirkan. Maka ia bertanya kepada Tuhan, “Ya Tuhan, engkau akan mengirimkan aku ke bumi. Tapi aku takut, aku masih sangat kecil dan tak berdaya. Siapakah nanti yang akan melindungiku disana?”
Tuhanpun menjawab, “Diantara semua malaikat-Ku, Aku akan memilih seseorang yang khusus untukmu, dia akan merawat dan mengasihimu.” Si kecil bertanya lagi, “Tapi disini disurga ini aku tak berbuat apa-apa, kecuali tersenyum dan bernyanyi. Semua itu sudah cukup untuk membuatku bahagia.” Tuhanpun menjawab, “Taka apa, Malaikatmu itu akan selalu menyenandungkan lagu untukmu dan dia akan membuatmu tersenyum setiap hari. Kamu akan merasakan cinta dan kasih sayang, dan itu semua pasti akan membuatmu bahagia.” Namun Si kecil bertanya lagi, “Bagaimana aku bisa mengerti ucapan mereka, jika aku tak tahu bahasa yang mereka pakai?
Tuhanpun menjawab, “Malaikatmu itu akan membisikkanmu kata-kata yang indah, dia akan selalu sabar berada disampingmu. Dan dengan kasihnya dia akan mengajarkanmu berbicara dengan bahasa manusia. Si kecil bertanya lagi, “Lalu bagaimana jika aku ingin berbicara padamu Ya Tuhan?”
Tuhanpun kembali menjawab, “Malaikatmu itu akan membimbingmu, dia akan menengadahkan tangannya bersamamu dan mengajarkanmu untuk berdo’a.” Lagi-lagi Si kecil menyelidik, “Namun aku mendengar disana banyak sekali orang jahat, siapakah nanti yang akan melindungiku?”
Tuhanpun menjawab, “Tenang, malaikatmu akan terus melindungimu walaupun nyawa yang menjadi taruhannya. Dia sering akan melupakan kepentingannya sendiri untuk keselamatanmu.” Namun Sikecil kini malah menjadi sedih, “Tuhan tentu aku akan menjadi sedih jika tak melihat-Mu lagi.”
Tuhan menjawab lagi, “Malaikatmu akan selalu mengajarkan keagungan-Ku, dan dia akan mendidikmu bagaimana agar selalu patuh dan taat kepada-Ku. Dia akan selalu membimbingmu untuk selalu mengingat-Ku. Walau begitu aku akan selalu ada disisimu.”
Hening. Kedamaianpun kembali menerpa surga. Suara-suara panggilan dari bumi mulai sayup-sayup terdengar. “Ya Tuhan, aku akan pergi sekarang, tolong sebutkan nama dari malaikat pelingdungku itu…”
Tuhan kembali menjawab, “Nama malaikatmu itu tak begitu penting… Hanya saja kamu akan sering menyebutnya dengan panggilan: Ibu…”

Razor Leave : Prolog

Razor Leave
(Kejenuhan yang mengasyikkan)
“Tetapi apa yang kau harap selalu jadi yang terburuk untuk kau tolak lagi”

Aku tidak pernah berharap di tiap detik yang kunikmati ini ternyata membuatku menjadi seorang yang lain, aku tidak berharap di masa mudaku ini, yang masih terlalu labil, ingin berpikir hal-hal yang terlalu berat untuk laki-laki absurd seusiaku ini, masih terlalu muda, Kawan.
Sekarang aku terjebak dalam ruangan putih, dikelilingi dinding kamar berwarna putih suram, ditemani lampu lima watt yang bersinar kuning silau tak karuan,aku duduk di sudutnya menatap langit-langit kamar, aku selalu takut akan waktu-waktu seperti ini, aku takut untuk merenung, aku takut pikiranku terisi oleh bayang-bayang dirimu lagi, dan aku takut menerima kenyataan, aku memang selalu jadi pengecut untuk kenyataan yang pahit, yang setidaknya aku tak merasa sendiri ketika memikirkan hal tadi, kadang kalian seperti itu kan? Berita baiknya aku masih manusia, setidaknya aku masih berwujud manusia.
Aku bingung, memikirkan hal percuma seperti ini selalu menyenangkan bagiku, meski aku tahu ini tak berguna, setidaknya masih bisa melakukan sesuatu biarpun hanya pikiranku yang bergerak,sedangkan ragaku mati suri di tiap momentum aku mengenangmu, ah apa sih yang kubicarakan? Aku terbawa lagi oleh bisikan setan-malaikat yang hanya bisa meremukkan hatiku, ketika ku tahu bahwa aku tak akan pernah bisa bersamamu lagi.
Aku merindukanmu, tentu saja.
Ku biarkan hatiku menyublim bersama keterbatasan ruang yang ada, beterbangan menjadi molekul-molekul kecil dan bertebaran seiring keheningan yang kucintai ini, dan aku pun sadar, semua yang indah selalu memiliki jarak dan presisi yang tepat, keindahan sepotong puisi pun tak akan berarti jika tanpa spasi, tidak bermakna dan hambar, seperti kekerasan hati ini untuk tetap menjaga perasaan ini dikala semua belaian dan sayup nada syahdu rajin membias dan menggoda di sekeliling. Aku tahu aku pasti akan merindukanmu, karena itulah aku tidak tergoyahkan.
Sesaat sebelum sadar aku ingin lagi merasakan kumpulan dari tiap detik yang selalu kusiapkan dengan rapi hanya untukmu, berlari bersamamu di bawah ritmis air hujan, menikmati tiap kejutan elektis dari sentuhan jemarimu yang hangat membelai wajahku di ruas-ruas pematang sawah, membiarkan diriku tersesat dalam jalan panjang yang berkelok-kelok di kedua matamu, menikmati cahaya sabuk bintang dari sendi-sendi senyummu, dan melupakan cara bernafas ketika kau mengucapkan kalimat yang paling indah “Aku mencintaimu”.